Rabu, 17 September 2014

CATENACCIO

Catenaccio - Seni dan Tradisi Bertahan dari Italia


Catenaccio secara harfiah berarti “Kunci” atau “Grendel”. Membicarakan catenaccio menjadi semacam membicarakan tabu di era sepak bola modern. Kuno lebih tepatnya. Catenaccio dianggap tidak lebih dari sekedar kenangan buruk yang identik dengan sepak bola Italia, khususnya di era 60-70-an. Membosankan.
Akan tetapi melupakan pelajaran taktik dari catenaccio sebenarnya adalah kebodohan, karena apabila dilakukan dengan benar dan dikolaborasikan dengan sepak bola modern, strategi ini dapat menciptakan petahanan yang sangat solid dan kokoh. Alasan utama para pakar  sepak bola tidak ingin melihatnya lagi cukup sederhana, catenaccio akan membuat tim lain berhenti mencetak gol.
Adalah Helenio Herrera dengan Il Grande Inter-nya yang menjadi generasi pertama yang membesarkan strategi catenaccio. Di bawah bimbingan tangannya, Herrera membuktikan efektivitas sistem catenaccio dengan membawa Inter memenangkan empat gelar Scudetto dan dua gelar Piala Champion Eropa sepanjang dekade 60-an.

Helenio Herrera 
 
Ketika klub-klub Inggris masih bermain dengan gaya “WM” yang klasik atau formasi 3-2-5, Italia di bawah pimpinan Herrera sudah menggunakan formasi catenaccio 1-3-3-3 yang sangat defensif dan stabil dengan seorang libero atau “penyapu bola”, tiga orang bek tipikal man-marking, tiga orang gelandang jangkar dan tiga penyerang yang biasanya penyerang sisi kanan dan kiri bertransformasi menjadi winger untuk mendukung satu target man.
Herrera dengan Inter pada saat itu praktis menggunakan 4 pemain bertahan, dan salah satunya bertindak sebagai penyapu bola yang bekerja di areal antara penjaga gawang dan garis pertahanan, mengambil bola yang terlepas dari pertahanan, membangun titik awal serangan, bergerak membawa bola ke tengah lapangan dan menuju ke areal serangan.
Dengan catenaccio, keamanan pertahanan adalah yang paling penting. Tim akan berusaha secepatnya memimpin skor duluan, dan kemudian segera bertahan di sekitar areal libero dimana lini tengah dan lini belakang saling melindungi dalam membendung serangan lawan. Serangan balik yang jeli kemudian mendukung kekuatan pertahanan tersebut, dan begitulah sistem ini bekerja.

Catenaccio 
 
Waktu berlalu, lama-kelamaan sistem catenaccio ini mulai tergantikan dengan sistem total football ala Belanda yang dianggap lebih menghibur. Tapi sekali lagi, di Italia, keduanya diramu-padukan hingga menciptakan bentuk terbaik dari catenaccio dan melahirkan The Dream Team AC Milan di era 90-an. Franco Baresi sebagai penyapu, Alessandro Costacurta menjadi bek tengah, di kanan ada Mauro Tasotti, dan di kiri Paolo Maldini. Hasilnya adalah tropi Champion Eropa 1989, 1990 dan 1994. Milan menguasai Eropa.

http://bi.gazeta.pl/im/6/6651/z6651536O.jpg 
 
Melihat tugas sang penyapu bola dalam sistem catenaccio yang sangat vital lantaran sangat berpengaruh terhadap keteraturan dan keseimbangan tim, tak heran jika tradisi dari Italia ini sejak dulu hingga kini masih sangat produktif melahirkan seorang pemimpin lapangan atau kapten tim yang berposisi libero yang tidak hanya kuat bertahan, tapi juga lincah dalam membangun serangan. Giancinto Fachetti, Claudio Gentile, Franco Baresi, Giuseppe Bergomi, Paolo Maldini, Fabio Cannavaro adalah sebagian pemain dengan nama besar yang lahir karena tradisi catenaccio. Dalam sepakbola modern, dimana eranya total football ‘tiki-taka’, tradisi catenaccio tetap hidup. Ia bertransformasi menjadi model gelandang jangkar seperti yang ada dalam diri Gennaro Gattuso, Andrea Pirlo, Riccardo Montolivo dan Daniele De Rossi. Mereka adalah gelandang serba bisa, mereka bertahan sekaligus mengatur serangan. Dan sekali lagi, mereka memimpin di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar